Archive for the ‘Tokoh’ Category

Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun”. (QS. 18:60)

Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.(QS. 18:65)

Kenapa Musa yang hebat itu, yang memiliki sembilan buah mu’jizat dan berbicara langsung dengan Allah di Puncak Sinai masih diperintahkan untuk berguru kepada Khidr? Ternyata Musa dianggap oleh Allah belum memiliki kualitas kesabaran yang semestinya. Apalagi dalam menghadapi Bani Israil yang terkenal sangat cerewet dalam beragama.

pada saat Musa berkata kepada Khidhr: “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?”(QS. 18:66)

Dia menjawab: “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?”(QS. 18:67-68)

Sungguh mendalam sekali dialog dua orang Hamba Allah itu. Musa yang sedemikian hebat bisa diprediksi oleh Khidr tidak akan bisa bersabar mengikutinya, karena ilmunya belum cukup. Ternyata kesabaran bisa dilakukan jika seseorang memiliki ilmunya. Jika tidak maka dia hanya bisa menyabar-nyabarkan diri saja. Terpaksa bersabar.

Hal ini terbukti selama mengikuti Khidr Musa sering protes kepadanya, ketika saat Khidr melakukan sesuatu yang dianggapnya tidak masuk akal. Sedangkan sesuatu itu dikatakan masuk akal atau tidak bergantung kepada sejauh mana ilmu yang dimilki oleh seseorang. Karena itu Islam sangat menghargai ilmu pengetahuan dan mengandalkan akal sehat untuk menjalankannya, agar semuanya berjalan dengan baik.

Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhr melobanginya. Musa berkata: “Mengapa kamu melobangi perahu itu yang akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?” Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar. Dia (Khidhr) berkata: “Bukankah aku telah berkata: “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku” Musa berkata: “Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku”. Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidhr membunuhnya. Musa berkata: “Mengapa kamu bunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar”. Khidhr berkata: “Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?” Musa berkata: “Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur padaku”. Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata: “Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu”. Khidhr berkata: “Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; Aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.

Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.  Dan adapun anak itu maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mu’min, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran.Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya). Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya”. (QS. 18: 71-82)

Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.(QS. 3:7)

Perbandingan kedua golongan itu (orang-orang kafir dan orang-orang mukmin), seperti orang buta dan tuli dengan orang yang dapat melihat dan dapat mendengar. Adakah kedua golongan itu sama keadaan dan sifatnya? Maka tidakkah kamu mengambil pelajaran (daripada perbandingan itu)?(QS. 11:24)

Wallahu’alam.


Allah telah menyampaikan informasi yang benar dan tegas di dalam Alqur’an, bahwa tauladan yang paling baik ada pada diri Muhammad saw. Dialah manusia yang menerima  kitab bernama Alqur’an.  Dan selain Rasulullah saw tidak bisa dijadikan tauladan yang baik, kecuali para Nabi dan Rasul sebelum Nabi Muhammad..

Kenapa demikian?  Karena Rasulullah  telah teruji kepribadian dan Akhlaknya. Lantas, Allah  memilih beliau untuk menyampaikan misi kerasulan kepada umat manusia hingga akhir zaman. Kedatangan Rasulullah saw sangat ditunggu-tunggu bagi orang yang mengharapkan Rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat.

QS. Al Ahzab (33) : 21.

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”

Keteladanan yang paling sempurna tentang apa yang diajarkan Allah ada pada keteladanan yang telah dicontohkan Rasulullah. Sedangkan pada Nabi dan Rasul sebelum Muhammad juga terdapat ketauladanan yang baik. Yaitu pada diri Ibrahim dan orang-orang bersama dengannya.

QS. Al Mumtahanah (60) : 4.

“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya: “Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah.” (Ibrahim berkata): “Ya Tuhan kami hanya kepada Engkaulah kami bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali.”

Jika kita bercermin dan mengikuti apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw, tentu akan memberikan inspirasi dan tuntunan yang paling jelas. Tuntunan utama adalah Alqur’an dan penjabarannya ada pada diri dan prilaku beliau.

Sungguh luar biasa apa yang ada pada diri Rasulullah itu, sampai-sampai Allah yang menjamin kebersihan dan kebenaran akhlaknya. Bagaimana akhlak Rasulullah itu?

Akhlak pribadi. Sangat sulit mencari bahkan tidak ada tandingannya akhlak beliau. Aisyah pernah berkata : “Rasulullah itu bagaikan Alqur’an berjalan”. Apa yang diperintah Alqur’an,  itu yang dijalankan.

Sangat banyak teladan yang bisa dipraktekkan dari Rasulullah saw diantaranya : jujur, adil, dipercaya, rendah diri, sulit marah, mudah memaafkan, selalu mendahului orang lain, kasih sayang, sangat perhatian dan seluruh perilaku kehidupan. Beliau telah menjalankan Alqur’an dan bukan sekedar  teori saja.

Sudahkan kita sebagai pengikut Muhammad menjalankan Alqur’an sebagaimana Rasulullah? Jika belum, masihkah kita berharap umat ini menjadi teladan? Perlu kita ingat, bahwa keberhasilan Rasulullah dalam mengajak orang-orang kafir masuk Islam karena akhlak beliau.

Perjuangan Rasullah pada saat memulai dakwah  sangat berat. Beliau memulainya dengan single fighter, berjuang sendirian. Namun dengan akhlak pribadinya telah menjadikan dakwah berkembang dengan pesat. Bahkan hingga hari ini jumlah umat Islam lebih dari satu miliar yang tersebar di seluruh penjuru dunia. Itulah keberhasilan Rasulullah, beliau tidak saja membaca Alquran tetapi langsung mempraktekkannya.

Akhlah berkeluarga. Bagi orang-orang yang telah berkeluarga, maka Rasulullah teladan yang terbaik. Beliau tidak pernah berkata kasar kepada isteri dan anaknya. Bahkan pembantunya bernama Anas ra. telah mengabdi kepada beliau selama 10 tahun, mengaku tidak pernah Rasulullah berkata kasar apalagi menghardik.

Beliau bertutur kata lembut  dan suka mencium anak-anak. Dalam suatu riwayat diceritakan beliau mencium cucunya Hasan ibnu Ali. Seorang lelaki bernama Aqra’ Ibnu Habis berada bersama beliau kemudian berkata, “saya punya anak sepuluh, tapi saya tidak pernah mencium satu pun dari mereka.” Rasulullah memandang Aqra’, dan kemudian mengatakan, “Orang yang tidak mengasihi, tidak akan dikasihi.”

Sungguh banyak keteladan yang telah diberikan Rasulullah dalam kehidupan berumah tangga.

Akhlak bermasyarakat. Dalam bermasyarakat Rasulullah bisa merangkul semua elemen masyarakat. Bukan malah terjebak dan terkotak-kotak dalam golongan tertentu.

Beliau  mencontohkan dimulai dari keluarga, kemudian ditularkan pada tetangga. Beliau menghargai dan mengasihi tetangga tanpa membeda-bedakan secara ekonomi, sosial, politik, agama dan ukuran lainnya.

Rasulullah   berpesan kepada kita, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia bersikap baik kepada tetangganya.” Banyak yang telah diteladankan Rasulullah dalam rangka memuliakan tetangganya dalam bermasyarakat. Sampai-sampai Allah memuji akhlah beliau.

QS. Al Qalam (68) 4.

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.”

Meskipun begitu, beliau tidak gila hormat dan tidak mau dipuji-puji para sahabat secara berlebihan.

Akhlak berpolitik. Tujuan politik Rasulullah adalah menciptakan kesejahteraan masyarakat yang adil dan makmur dalam ridha Allah. Beliau menjalankan politik bersih penuh dengan keadilan dan kasih sayang. Sangat berbeda dengan berpolitik zaman modern ini,  cara berpolitik untuk berebut kekuasaan.

Suatu ketika sedang shalat Fajar berjamaah di Hudaibiyah. Tiba-tiba datang serombongan kaum kafir menyerbu. Akhirnya mereka tertangkap oleh kaum Muslimin. Tapi Rasulullah membebaskan mereka tanpa tebusan apa-apa.

Pada saat penaklukan kota Mekkah Rasulullah memberikan pengampunan kepada orang-orang kafir Quraisy yang pernah menyakiti dan mengusir kaum Muslimin. Beliau adalah orang yang mudah memaafkan.

Begitulah Rasulullah, orang yang sangat menghargai manusia lain dan kemanusiaan. Walaupun berbeda politik, berbeda suku, berbeda bangsa bahkan berbeda agama. Sejak awal Islam disyi’arkan oleh Rasulullah dengan damai dan akhlak yang mulia.

Ternyata Rasulullah menjadi tauladan pada segala bidang dan sisi kehidupan. Tidak ada satupun manusia yang bisa menyamainya. Maka pantas beliau dijadikan sebagai teladan yang baik yang pernah hadir di muka bumi. Semoga kita senantiasa mentauladani akhlak Rasulullah dalam bersikap dan bertingkah laku dalam menyampaikan dakwah dan menjalankan syariat Allah………….. Amin. Wallahu’alam.

Siapa Sang Penakluk Spanyol?

Posted: 6 Juli 2009 in Tokoh

Setelah Rasulullah saw. wafat, Islam menyebar dalam spektrum yang luas. Tiga benua lama -Asia, Afrika, dan Eropa-pernah merasakan rahmat dan keadilan dalam naungan pemerintahan Islam. Tidak terkecuali Spanyol (Andalusia). Ini negeri di daratan Eropa yang pertama kali masuk dalam pelukan Islam di zaman Pemerintahan Kekhalifahan Bani Umaiyah.

Sebelumnya, sejak tahun 597 M, Spanyol dikuasai bangsa Gotic, Jerman. Raja Roderick yang berkuasa saat itu. Ia berkuasa dengan lalim. Ia membagi masyarakat Spanyol ke dalam lima kelas sosial. Kelas pertama adalah keluarga raja, bangsawan, orang-orang kaya, tuan tanah, dan para penguasa wilayah. Kelas kedua diduduki para pendeta. Kelas ketiga diisi para pegawai negara seperti pengawal, penjaga istana, dan pegawai kantor pemerintahan. Mereka hidup pas-pasan dan diperalat penguasa sebagai alat memeras rakyat.

Kelas keempat adalah para petani, pedagang, dan kelompok masyarakat yang hidup cukup lainnya. Mereka dibebani pajak dan pungutan yang tinggi. Dan kelas kelima adalah para buruh tani, serdadu rendahan, pelayan, dan budak. Mereka paling menderita hidupnya.

Akibat klasifikasi sosial itu, rakyat Spanyol tidak kerasan. Sebagian besar mereka hijrah ke Afrika Utara. Di sini di bawah Pemerintahan Islam yang dipimpin Musa bin Nusair, mereka merasakan keadilan, kesamaan hak, keamanan, dan menikmati kemakmuran. Para imigran Spanyol itu kebanyakan beragama Yahudi dan Kristen. Bahkan, Gubernur Ceuta, bernama Julian, dan putrinya Florinda -yang dinodai Roderick-ikut mengungsi.

Melihat kezaliman itu, Musa bin Nusair berencana ingin membebaskan rakyat Spanyol sekaligus menyampaikan Islam ke negeri itu. Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik memberi izin. Musa segera mengirim Abu Zar’ah dengan 400 pasukan pejalan kaki dan 100 orang pasukan berkuda menyeberangi selat antara Afrika Utara dan daratan Eropa.

Kamis, 4 Ramadhan 91 Hijriah atau 2 April 710 Masehi, Abu Zar’ah meninggalkan Afrika Utara menggunakan 8 kapal dimana 4 buah adalah pemberian Gubernur Julian. Tanggal 25 Ramadhan 91 H atau 23 April 710 H, di malam hari pasukan ini mendarat di sebuah pulau kecil dekat Kota Tarife yang menjadi sasaran serangan pertama.

Di petang harinya, pasukan ini berhasil menaklukan beberapa kota di sepanjang pantai tanpa perlawanan yang berarti. Padahal jumlah pasukan Abu Zar’ah kalah banyak. Setelah penaklukan ini, Abu Zar’ah pulang. Keberhasilan ekspedisi Abu Zar’ah ini membangkitkan semangat Musa bin Nusair untuk menaklukan seluruh Spanyol. Maka, ia memerintahkan Thariq bin Ziyad membawa pasukan untuk penaklukan yang kedua.

Thariq bin Ziyad bin Abdullah bin Walgho bin Walfajun bin Niber Ghasin bin Walhas bin Yathufat bin Nafzau adalah putra suku Ash-Shadaf, suku Barbar, penduduk asli daerah Al-Atlas, Afrika Utara. Ia lahir sekitar tahun 50 Hijriah. Ia ahli menunggang kuda, menggunakan senjata, dan ilmu bela diri.

Senin, 3 Mei 711 M, Thariq membawa 70.000 pasukannya menyeberang ke daratan Eropa dengan kapal. Sesampai di pantai wilayah Spanyol, ia mengumpulkan pasukannya di sebuah bukit karang yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar -diambil dari bahasa Arab “Jabal Thariq”, Bukit Thariq. Lalu ia memerintahkan pasukannya membakar semua armada kapal yang mereka miliki.

Pasukannya kaget. Mereka bertanya, “Apa maksud Anda?” “Kalau kapal-kapal itu dibakar, bagaimana nanti kita bisa pulang?” tanya yang lain.

Dengan pedang terhunus dan kalimat tegas, Thariq berkata, “Kita datang ke sini bukan untuk kembali. Kita hanya memiliki dua pilihan: menaklukkan negeri ini lalu tinggal di sini atau kita semua binasa!”

Kini pasukannya paham. Mereka menyambut panggilan jihad Panglima Perang mereka itu dengan semangat berkobar.

Lalu Thariq melanjutkan briefingnya. “Wahai seluruh pasukan, kalau sudah begini ke mana lagi kalian akan lari? Di belakang kalian ada laut dan di depan kalian ada musuh. Demi Allah swt., satu-satunya milik kalian saat ini hanyalah kejujuran dan kesabaran. Hanya itu yang dapat kalian andalkan.

Musuh dengan jumlah pasukan yang besar dan persenjataan yang lengkap telah siap menyongsong kalian. Sementara senjata kalian hanyalah pedang. Kalian akan terbantu jika kalian berhasil merebut senjata dan perlengkapan musuh kalian. Karena itu, secepatnya kalian harus bisa melumpuhkan mereka. Sebab kalau tidak, kalian akan menemukan kesulitan besar. Itulah sebabnya kalian harus lebih dahulu menyerang mereka agar kekuatan mereka lumpuh. Dengan demikian semangat juang kita akan bangkit.

Musuh kalian itu sudah bertekad bulat akan mempertahankan negeri mereka sampai titik darah penghabisan. Kenapa kita juga tidak bertekad bulan untuk menyerang mereka hingga mati syahid? Saya sama sekali tidka bermaksud menakut-nakuti kalian. Tetapi marilah kita galang rasa saling percaya di antara kita dan kita galang keberanian yang merupakan salah satu modal utama perjuangan kita.

Kita harus bahu membahu. Sesungguhnya saya tahu kalian telah membulatkan tekad serta semangat sebagai pejuang-pejuang agama dan bangsa. Untuk itu kelak kalian akan menikmati kesenangan hidup, disamping itu kalian juga memperoleh balasan pahala yang agung dari Allah swt. Hal itu karena kalian telah mau menegakkan kalimat-Nya dan membela agama-Nya.

Percayalah, sesungguhnya Allah swt. adalah penolong utama kalian. Dan sayalah orang pertama yang akan memenuhi seruan ini di hadapan kalian. Saya akan hadapi sendiri Raja Roderick yang sombong itu. Mudah-mudahan saya bisa membunuhnya. Namun, jika ada kesempatan, kalian boleh saja membunuhnya mendahului saya. Sebab dengan membunuh penguasa lalim itu, negeri ini dengan mudah kita kuasai. Saya yakin, para pasukannya akan ketakutan. Dengan demikian, negeri ini akan ada di bawah bendera Islam.”

Mendengar pasukan Thariq telah mendarat, Raja Roderick mempersiapkan 100.000 tentara dengan persenjataan lengkap. Ia memimpin langsung pasukannya itu. Musa bin Nusair mengirim bantuan kepada Thariq hanya dengan 5.000 orang. Sehingga total pasukan Thariq hanya 12.000 orang.

Ahad, 28 Ramadhan 92 H atau 19 Juli 711 M, kedua pasukan bertemu dan bertempur di muara Sungai Barbate. Pasukan muslimin yang kalah banyak terdesak. Julian dan beberapa orang anak buahnya menyusup ke kubu Roderick. Ia menyebarkan kabar bahwa pasukan muslimin datang bukan untuk menjajah, tetapi hanya untuk menghentikan kezaliman Roderick. Jika Roderick terbunuh, peperangan akan dihentikan.

Usaha Julian berhasil. Sebagian pasukan Roderick menarik diri dan meninggalkan medan pertempuran. Akibatnya barisan tentara Roderick kacau. Thariq memanfatkan situasi itu dan berhasil membunuh Roderick dengan tangannya sendiri. Mayat Roderick tengelam lalu hanyat dibawa arus Sungai Barbate.

Terbunuhnya Roderick mematahkan semangat pasukan Spanyol. Markas pertahanan mereka dengan mudah dikuasai. Keberhasilan ini disambut gembira Musa bin Nusair. Baginya ini adalah awal yang baik bagi penaklukan seluruh Spanyol dan negara-negara Eropa.

Setahun kemudian, Rabu, 16 Ramadhan 93 H, Musa bin Nusair bertolak membawa 10.000 pasukan menyusul Thariq. Dalam perjalanan ia berhasil menaklukkan Merida, Sionia, dan Sevilla. Sementara pasukan Thariq memabagi pasukannya untuk menaklukkan Cordova, Granada, dan Malaga. Ia sendiri membawa sebagian pasukannya menaklukkan Toledo, ibukota Spantol saat itu. Semua ditaklukkan tanpa perlawanan.

Pasukan Musa dan pasukan Thariq bertemu di Toledo. Keduanya bergabung untuk menaklukkan Ecija. Setelah itu mereka bergerak menuju wilayah Pyrenies, Perancis. Hanya dalam waktu 2 tahun, seluruh daratan Spanyol berhasil dikuasai. Beberapa tahun kemudian Portugis mereka taklukkan dan mereka ganti namanya dengan Al-Gharb (Barat).

Sungguh itu keberhasilan yang luar biasa. Musa bin Nusair dan Thariq bin Ziyad berencana membawa pasukannya terus ke utara untuk menaklukkan seluruh Eropa. Sebab, waktu itu tidak ada kekuatan dari mana pun yang bisa menghadap mereka. Namun, niat itu tidak tereaslisasi karena Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik memanggil mereka berdua pulang ke Damaskus. Thariq pulang terlebih dahulu sementara Musa bin Nusair menyusun pemerintahan baru di Spanyol.

Setelah bertemu Khalifah, Thariq bin Ziyad ditakdirkan Allah swt. tidak kembali ke Eropa. Ia sakit dan menghembuskan nafas. Thariq bin Ziyad telah menorehkan namanya di lembar sejarah sebagai putra asli Afrika Utara muslim yang menaklukkan daratan Eropa.

“Berbicaralah yang keras, lebih keras lagi karena pendengaranku kurang tajam.”

Demikian permintaan Syeikh Hatim kepada setiap warga kota Balkh yang kebetulan menjadi lawan bicaranya pada event apapun. Warga Balkh mengenalnya sebagai ‘ulama yang tuli, karena kata-kata itu hampir diucapkan berulang-ulang saat dialog berlangsung. Kata-kata tersebut selalu diucapkan oleh Hãtim dan itu sudah menjadi kebiasaannya, karena sudah 15 tahun lamanya ia selalu mengucapkan hal itu kepada siapa saja yg menjadi lawan bicaranya.

Sungguh komunikasi yang melelahkan bagi kedua belah pihak. Yang satu merasa sudah begitu jelas mengucapkan kata demi kata, kalimat demi kalimat. Ternyata yang lain tak satupun kata dapat dimengerti. Apalagi hal itu dialami dalam waktu yang cukup lama.

Hatim bukan tidak mendengar. Dia tidak tuli, budek apalagi bolot. Dia tidak punya masalah dengan pendengarannya. Dia masih jelas mendengar alunan adzan dikumandangkan. Gemericik air saat orang-orang berwudhu di masjidnya. Desir angin yang menimbulkan suara gesekan pada pelepah kurma di halaman rumahnya masih jelas terdengar. Bahkan jarum jatuh pun telinganya masih menangkap suaranya.

Hãtim melakukan itu bukan untuk mencari sensasi atau tanpa tujuan sama sekali. Dia melakukannya dengar sadar, walau karena perbuatannya itu orang kemudian menjulukinya ‘Si Tuli’. Anehnya julukan yang biasanya untuk merendahkan itu buatnya justru merupakan gelar kehormatan yang mengabadikan akhlak terpujinya sehingga ia dihargai oleh umat manusia sepanjang masa.

Gelar buruk, namun terhormat itu didapatkan Hatim ketika pada suatu saat seorang wanita paruh baya datang ke tempat yang biasa ia gunakan untuk pelajaran yang juga merupakan tempat penyimpanan ratusan kitab-kitabnya. Wanita itu bermaksud menanyakan suatu masalah yang bermaksud mendapatkan jawabannya dengan segera. Tanpa disengaja, wanita itu telah mengeluarkan angin -maaf kentut, pent– dengan sedikit keras di hadapan Hatim. Maka wanita itupun menjadi salah tingkah. Dia sadar insiden kecil itu terjadi di hadapan seorang tokoh besar dan berpengaruh di negerinya.

Maklum dalam pergaulan ‘buang angin’ di depan umum tentu perbuatan yang memalukan. Intinya dalam pergaulan hal itu adalah menyangkut etika, moral dan sopan santun. Namun di jaman sekarang apakah itu masih diangap kesopanan. Lihat saja dalam sebuah tayangan komedi Extravaganza di Trans TV perbuatan tabu dan ‘menjijikkan’ itu dengan berani didemonstrasikan di depan umum dan menjadi bahan tertawaan. Anehnya adegan orang kentut lengkap dengan suara khasnya dilakukan sampai dua kali. Adegan tersebut jelas tidak lucu, tidak cerdas, tidak sopan dan berkesan memuakkan. Sungguh, adegan yang tidak sepantasnya dipertontonkan. Lebih miris lagi acara tersebut menyabet Panasonic Award yang mendudukkannya sebagai acara paling digemari penonton. Boleh jadi sekarang kentut (dan perilaku busuk lainnya) sudah menjadi komoditi.

Akan tetapi pada situasi sulit yang dihadapi wanita ini, Hatim adalah orang yang bijak, ia sangat menguasai keadaan dan mengerti betul bagaimana perasaan wanita itu. Sudah barang tentu wanita ini sangat malu dengan tingkahnya di hadapan Hatim. Namun Hatim pura-pura tidak tahu dengan apa yang tengah terjadi padanya.

“Hai, keraskanlah suaramu, karena aku tidak mendengar apa yang kamu bicarakan”, Hatim berpura-pura tuli agar wanita itu menyangkanya tidak mendengar. Insiden tidak disengaja itu membuat wanita itu malu, kemudian wanita itu pun mengulangi ucapannya dengan agak keras dan Hatim pun menjawabnya dengan suara agak keras pula.

Setelah urusan mereka beres, wanita itu pulang dengan gembira karena merasa terselamatkan setelah memastikan bahwa ternyata Hatim yang diajak bicara itu tuli. Semenjak peristiwa itu, selama kira-kira 15 tahun wanita itu masih hidup, selama itu pula Hatim tetap berlagak tuli. Ini dilakukannya agar tak ada seorang pun yang memberitahu wanita itu perihal kondisi yang sebenarnya. Setelah wanita itu meninggal barulah Hatim menjawab semua pertanyaan secara spontan karena sesungguhnya pendengarannya masih normal selayaknya orang lain.

Demi menjaga harga diri orang lain, Hãtim begitu ikhlas ditambah laqob al-Ashom di belakang namanya menjadi Hatim al-Ashom, meskipun pendengaran beliau sehat wal afiat. Begitulah kemudian para koleganya memberinya ¬laqab (julukan): ” الأصم ” Si Tuli. Sungguh mulia budi pekerti Hatim, sehingga ia rela untuk berpura-pura selama 15 tahun demi menjaga perasaan wanita itu. Hal ini diceritakan dalam kitab Al-Mau’izhotul ‘Usfûriyyah (Pesan Burung-burung Manyar).

Begitulah Hatim dengan kerendahan hatinya yang justru mengungkapkan kekuatan jiwanya. Berbeda dengan rendah diri yang merupakan kelemahan. Hanya orang yang kuat jiwanya yang bisa bersikap rendah hati. Ia seperti padi yang semakin berisi semakin menunduk.Orang yang rendah hati bisa mengakui dan menghargai keunggulan orang lain. Ia bisa membuat orang yang di atasnya merasa ‘oke’ dan membuat orang yang di bawahnya tidak merasa minder.

Kebesaran jiwa dapat dilihat dari kemampuan seseorang memaafkan orang lain. Orang yang berjiwa besar tidak membiarkan dirinya dikuasai oleh rasa benci dan permusuhan. Ketika menghadapi masa-masa sukar dia tetap tegar, tidak membiarkan dirinya hanyut dalam kesedihan dan keputusasaan.

Begitulah Syeikh Hatim yang nama aslinya Abu Abdurrahman Hatim Bin ‘Umwan Bin Yusuf Al Ashom, lebih dikenal Hatim Al-Ashom. Lahir di Balkh dan wafat di Wasyjard dekat Tirmiz pada tahun 237 H/852 M., termasuk salah seorang tokoh besar di Khurasan. la murid dari Syeikh Syaqiq Al-Balkhi (Abu Ali Bin Ibrahim Al-Azadi ) penduduk kota Balkh. Syeikh Syaqiq adalah ‘ulama tersohor di Khurasan yang juga menemani Ibrahim bin Adam dan belajar ad-din darinya. Ia juga mengisnadkan hadits dari Anas ra.

Khurasan negeri yang menjadi tumpah darahnya memang gudang para ulama. Dahulunya wilayah ini dikuasai Kaisar Persia, kemudian ditaklukkan oleh pasukan kaum muslimin dibawah komandan perang Ahnaf bin Qais sewaktu kepemimpinan Al Faruq ra. Hampir seluruh negara di Asia Selatan dahulunya termasuk wilayah Khurasan ini. Kini, nama Khurasan tetap abadi menjadi sebuah nama provinsi di sebelah Timur Iran. Luas provinsi itu mencapai 314 ribu kilometer persegi. Khurasan Iran berbatasan dengan Republik Turkmenistan di sebelah Utara dan di sebelah Timur dengan Afganistan. Dalam bahasa Persia, Khurasan berarti ‘Tanah Matahari Terbit.’

Hatim al-Ashom bukan nama asing dalam khazanah tasawuf. Hatim adalah ulama mujahid yang amat disegani, disamping juga profesinya sebagai pedagang. Wibawanya memancar karena kezuhudan, ketekunan ibadah dan pembelaannya terhadap rakyat kecil. Dalam perjuangan mempertahankan Islam dengan kekuatan senjata pun beliau terlibat dalam banyak peperangan dan ikut serta di tengah kecamuk peperangan itu.

Pernah suatu saat, Hatim bersama rombongan melakukan ibadah Haji. Karena perbekalan yang dibawa sedikit, rombongan itu memutuskan bermalam di rumah seorang saudagar yang pemurah. Keesokan harinya, tuan rumah pun bertanya kepada Hatim.

“Apakah tuan ada keperluan setelah ini? Masalahnya kami bermaksud mengunjungi Syeikh kami yang sedang sakit,” Tuan rumah menjelaskan.

“Mengunjungi orang sakit banyak pahalanya. Apalagi memandang wajah seorang ulama adalah ibadat. Saya akan ikut bersama tuan.” Komentar Hatim menimpali.

Bersama saudagar itu, Hatim berkunjung ke rumah Muhammad Bin Muqathil, seorang ulama terkenal di negeri Ar-Ray. Hatim tercenung memandangi rumah sang Syeikh (Muqathil). Rumah itu begitu luas, megah dan sangat indah. Kamar tempat tidur nya pun begitu mewah. Di tengah keterperangahannya Hatim dipersilahkan duduk, tetapi dia tetap berdiri.

“Barangkali Anda perlu sesuatu? Tanya Syeikh Muqathil kepada Hatim.

“Betul, ada masalah yang ingin saya tanyakan.” Cetus Hatim.

“Bertanyalah!” Tegas Syeikh itu kepada Hatim.

“Dari manakah tuan dapatkan ilmu tentang ini semua?” Tanya Hatim sambil menunjuk sekelilingnya.

“Dari orang yang dapat dipercaya, dari para sahabat Nabi, dari Rasulullah, dari Jibril dan dari Allah swt.” Jawab Syeikh Muqathil.

“Apakah dari guru-guru tuan, dari sahabat Nabi, dari Allah swt tuan mendapatkan pelajaran supaya tuan hidup mewah?”

“Apakah mereka mengajarkan bahwa memiliki rumah besar akan meninggikan derajat kita di hadapan Allah?” Hatim menyelidik.

“Tidak, bahkan mereka mengajarkan kami zuhud, mencintai akhirat, menyayangi orang miskin. Dengan itulah orang mendapat kedudukan tinggi di hadapan Allah.” Jawab Syeikh Muqathil.

” Bila benar begitu, siapakah guru tuan sebenarnya?”

“Para Nabi, sahabat, orang-orang sholeh atau fir’aun dan Namrud yang mendirikan gedung bertahtakan pualam?”

Kalimat nasehat itupun meluncur saja dari kecerdasan Hatim. Kabarnya sakit Ibnu Muqhatil makin parah. Penduduk Ar-Ray gempar. Mereka mendatangi Hatim, dan mengatakan: “Hai Tuan, ada ‘ulama yang lebih mewah dari Ibnu Muqhatil, namanya Al-Tanafisi. Dia tinggal di Qazwin. Berilah dia juga peringatan.”

Hatimpun lalu datang ke Qazwin, menemui Al-Tanafisi.

Sesampainya di rumah megah sang ulama, ia bergumam, “Inikah sosok pewaris Nabi?” Lalu diketuknya pintu rumah dan meminta izin bertemu dengan sang ulama. Dilihatnya isi rumah dipenuhi dengan perabotan mahal dan sang ulama sendiri tengah berbaring di atas ranjang empuk, dikipasi bujang-bujangnya.

Guru, ajarkan saya cara wudhunya Rasulullah,” Pinta Hatim kemudian.

Di atas ranjang, sang ulama lalu mencontohkan cara berwudhu. Hatim menirunya dengan sedikit perbedaan. Sang ulama menegur, “Basuhlah sebanyak tiga kali, jangan lebih karena itu merupakan tabdzir (pemborosan)“.

Beroleh kesempatan, Hatim menukas lantang, “Guru, anda beroleh ilmu ini dari tabi’in, tabi’in dari sahabat, dan sahabat dari Rasulullah. Pernahkah beliau mengajarkan hidup boros dan mewah seperti ini? Jika Guru berkata kelebihan satu basuhan saja dianggap tabdzir, lalu bagaimana dengan semua kemewahan ini?

Imam Ahmad mendengar berita ini, maka beliau langsung mendatangi Hatim dan meminta nasehat. Imam besar pendiri Madzhab Hambali ini, tidak segan-segan bertanya kepadanya. “Subhanallah, alangkah cerdasnya Hatim, ” kata Imam Ahmad dengan penuh kagum.

Mencermati formulasi dialog yang bernuansa nasehat dengan kalimat-kalimat retoris ini wajar bila Imam Ahmad merasa kagum dengan kecerdasan Hatim. Bukan saja cerdas, tetapi juga berani. Persis seperti sifat air yang dipakai berwudhu, Hatim laksana air suci yang mensucikan (Thoohirun Muthohhirun Ghairu Makhruuhun ). Dia menjaga dirinya dari kemaksiatan. Dia juga mengingatkan orang lain untuk memelihara kesucian. Berbeda dengan kebanyakan orang yang ‘Sok alim’, dia dengan berani melakukan kontrol sosial. Dia mempertahankan keyakinannya dengan meninggalkan arus dengan tegas, dia menantang arus. Dan bila dia menuntut ilmu dikuti dengan tekun. Dia tampil mengingatkan para ulama yang lupa. Dia tidak membenci orang yang mencari nafkah dengan halal. Dia juga tidak senang dengan orang-orang yang hidup mewah, apalagi bila orang itu adalah ulama. Dia menghujat para ulama yang begitu sensitive membincangkan cara berwudhu, tetapi tidak peka terhadap persoalan kemasyarakatan. Ulama yang berang bila melihat bid’ah dalam ibadat, tetapi sangat tenang ketika melihat disparitas sosial-ekonomi di sekitarnya. Kepada ulama seperti inilah Hatim datang.