Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun”. (QS. 18:60)

Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.(QS. 18:65)

Kenapa Musa yang hebat itu, yang memiliki sembilan buah mu’jizat dan berbicara langsung dengan Allah di Puncak Sinai masih diperintahkan untuk berguru kepada Khidr? Ternyata Musa dianggap oleh Allah belum memiliki kualitas kesabaran yang semestinya. Apalagi dalam menghadapi Bani Israil yang terkenal sangat cerewet dalam beragama.

pada saat Musa berkata kepada Khidhr: “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?”(QS. 18:66)

Dia menjawab: “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?”(QS. 18:67-68)

Sungguh mendalam sekali dialog dua orang Hamba Allah itu. Musa yang sedemikian hebat bisa diprediksi oleh Khidr tidak akan bisa bersabar mengikutinya, karena ilmunya belum cukup. Ternyata kesabaran bisa dilakukan jika seseorang memiliki ilmunya. Jika tidak maka dia hanya bisa menyabar-nyabarkan diri saja. Terpaksa bersabar.

Hal ini terbukti selama mengikuti Khidr Musa sering protes kepadanya, ketika saat Khidr melakukan sesuatu yang dianggapnya tidak masuk akal. Sedangkan sesuatu itu dikatakan masuk akal atau tidak bergantung kepada sejauh mana ilmu yang dimilki oleh seseorang. Karena itu Islam sangat menghargai ilmu pengetahuan dan mengandalkan akal sehat untuk menjalankannya, agar semuanya berjalan dengan baik.

Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhr melobanginya. Musa berkata: “Mengapa kamu melobangi perahu itu yang akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?” Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar. Dia (Khidhr) berkata: “Bukankah aku telah berkata: “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku” Musa berkata: “Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku”. Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidhr membunuhnya. Musa berkata: “Mengapa kamu bunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar”. Khidhr berkata: “Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?” Musa berkata: “Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur padaku”. Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata: “Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu”. Khidhr berkata: “Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; Aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.

Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.  Dan adapun anak itu maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mu’min, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran.Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya). Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya”. (QS. 18: 71-82)

Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.(QS. 3:7)

Perbandingan kedua golongan itu (orang-orang kafir dan orang-orang mukmin), seperti orang buta dan tuli dengan orang yang dapat melihat dan dapat mendengar. Adakah kedua golongan itu sama keadaan dan sifatnya? Maka tidakkah kamu mengambil pelajaran (daripada perbandingan itu)?(QS. 11:24)

Wallahu’alam.


 

Seharus  kita berdzikir mengingat  Allah sepanjang waktu yang dimiliki.  Tidak hanya seusai shalat, tetapi sejak bangun pagi sampai kita tidur kembali. Demikianlah dimaksudkan Allah dalam berbagai firman-Nya, bahwa tetaplah berdzikir setelah selesai shalat.   Dan teruslah berdzikir dalam keadaan berdiri, duduk maupun berbaring.

QS. An-Nisaa’ (4) : 103.

“Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”

Ayat yang lain memperjelaskan apa dan bagaimana yang dimaksud dengan ingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk dan berbaring itu.

QS. Ali Imran (3) : 191.

“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”

Jika kita bertanya pada diri sendiri atau kepada orang lain, Manakah yang lebih penting dunia atau akhirat? Tentu kita akan menjawab  akherat….! Lalu jika kita bertanya lagi, lebih banyak mana waktu yang kita habiskan untuk dunia atau akhirat? Tentu kita akan menjawab untuk dunia………..

Ya, ternyata kita tidak konsisten! Katanya akhirat lebih penting daripada dunia. Tetapi dalam kegiatan sehari-hari lebih banyak kita mengejar dunia. Daripada akhirat.

Coba saja dalam sehari yang kita alokasikan untuk kegiatan dunia. Bandingkan dengan waktu untuk mengejar akhirat. Untuk tidur, katakana rata-rata 6 jam. Untuk bekerja 8 jam. Untuk makan sekitar 2 jam. Untuk bersantai, olah raga, nonton, baca Koran kurang lebih 3 jam. Untuk berkendaraan anggap 2 jam!

Sisanya yang 3 jam kita bagikan untuk shalat dan berdzikir, masing-masing 20 menit dikalikan 5 waktu, sekitar 100 menit. Baca Qur’an setiap hari 20 menit. Mendengar pengajian, baca buku dan beramal kebajikan lainnya rata-rata 1 jam per hari. Habislah waktu 3 jam yang tersisa….!

Coba kita perhatikan kenyataan waktu yang kita habiskan! Digunakan untuk urusan dunia 21 jam. Sedangkan urusan akhirat 3 jam! Begitukah cara kita mengejar akherat?!

QS. Al An’am (6) : 70

“Dan tinggalkan lah orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, dan mereka telah ditipu oleh kehidupan dunia. Peringatkanlah (mereka) dengan Al-Quran itu agar masing-masing diri tidak dijerumuskan ke dalam neraka, karena perbuatannya sendiri. Tidak akan ada baginya pelindung dan tidak pula pemberi syafa’at selain daripada Allah. Dan jika ia menebus dengan segala macam tebusanpun, niscaya tidak akan diterima itu daripadanya. Mereka itulah orang-orang yang dijerumuskan ke dalam neraka. Bagi mereka (disediakan) minuman dari air yang sedang mendidih dan azab yang pedih disebabkan kekafiran mereka dahulu.” 

Allah mengingatkan kepada kita secara tersirat tapi tegas dalam ayat di atas. Jangan sampai kita tertipu oleh dunia, sehingga kelak kita menyesal. Kebahagian sesungguhnya berada di akherat. Selama ini kita telah tertipu oleh angan-angan kosong kita sendiri. Dan tanpa sadar menjadi tidak konsisten. Bahkan tidak masuk akal. Apa yang menjadi tujuan utama, kita lalaikan. Sedangkan yang menjadi tujuan antara kita kejar habis-habisan. Allah mengkritik orang yang bodoh dan lalai.

QS. Ar Ruum (30) : 7.

“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.”

Maka, apakah yang harus kita lakukan? Jawabnya sederhana saja : “bertindaklah yang proporsional.” Kalau kita sudah paham akhirat  tujuan utama, maka utamakanlahn ia. Sedangkan dunia sebagai ‘tujuan antara’, maka jadikan ia sebagai perantara untuk mencapai tujuan akhirat.

Lantas, bagaimana cara formulanya? Bukankah waktu kita hanya 24 jam sehari semalam? Kita tidak perlu memisah-misahkan antara kegiatan dunia dan akhirat. Karena keduanya karunia Allah. Yang satu diberikan sekarang dan yang lain diberikan nanti. Kedua-duanya harus kita ambil dan kita nikmati.

Karena sekarang adalah kehidupan dunia, maka jadikan kehidupan dunia sebagai sarana untuk mencapai kebahagiaan akhirat. Jangan ditinggalkan dan jangan dijauhi.

Jangan tidak bekerja dengan alasan mengganggu shalat dan dzikir kita. Jangan pula tidak berolah raga dengan alasan bisa mengganggu tidak bisa baca Alqur’an. Jangan pula tidak berumah tangga, karena takut mengganggu kedekatan kita kepada Allah. Karena semuanya bisa dilakukan secara simultan.

Betapa banyak orang yang bekerja tetapi tetap bisa melakukan shalat dan dzikir kepada Allah. Betapa banyak orang yang berolah raga sambil menghafal Alqur’an. Dan betapa banyak orang yang berumah tangga sambil memenuhi perintah Allah untuk menyiapkan generasi berkualitas di masa depan yang akan mengembalikan kejayaan umat Islam sebagai umat teladan…..

Dunia buka untuk diabaikan. Tapi untuk dikelola supaya memberikan kebahagiaan kepada manusia. Tapi ingat, ini bukan tujuan final. Karena kita sedang menuju kehidupan yang abadi, yaitu akhirat.

Seorang muslim harus menjadi kaya, agar bisa naik haji. Agar bisa membantu orang miskin. Agar bisa membantu janda-janda miskin dan anak yatim. Agar bisa menciptkan lingkungan yang sehat dan nyaman.

Seorang muslim harus pandai dan berilmu pengetahuan tinggi, agar kita tidak terus menerus menjadi orang bodoh seperti sekarang ini.

Seorang muslim harus menjadi pengusaha, agar potensi umat Islam ini bisa dikelola secara baik. Hidup damai sejahtera yang dirahmati dan diridhoi oleh Allah.

Pokoknya umat Islam harus maju dalam segala bidang. Dunia harus berada dalam genggaman kita. Bukan malah tersingkir dari kenikmatan dunia. Padahal dunia diciptakan untuk kita. Tapi malah kita acuhkan, sungguh kita berdosa kepada Allah. Kita melecehkan Allah yang telah menciptakan semua ini untuk kebahagiaan manusia….

QS. Al-Baqarah (2) : 29.

“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.”      

QS. Ibrahim (14) : 32.

“Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu; dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai.”

Dan masih banyak ayat-ayat yang bercerita tentang betapa Allah telah menciptakan segala yang ada ini untuk kebahagiaan manusia. Tidak ada ayat yang melarang kita menikmatinya. Yang dilarang itu adalah hidup bermewah-mewah dan bermegah-megahan, sehingga lupa dari mengingat Allah. 

Wallahu’alam.

 

Apakah Dzikir, Do’a dan Shalat yang kita lakukan sudah khusyuk? Dan bisakah kita mengukur khusyuk? Pertanyaan demikian agar kita benar-benar bisa menjadi hamba yang mantap dalam beribadah.

Allah SWT telah mengajarkan cara mencapai  kekhusyukan dan sekaligus mengukurnya. Dalam beberapa ayat Allah SWT menyinggung masalah kekhusyukan diantaranya

QS. Al Baqarah (2) : 45-46

“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.”

Ayat di atas menerangkan bahwa yang dimaksud dengan khusyuk adalah orang-orang yang meyakini mereka akan bertemu dengan Tuhannya saat berkomunikasi, dan suatu ketika akan kembali bertemu dengan-Nya.

Seseorang bisa disebut khusyuk, jika ia menyadari penuh dengan keyakinan bisa bertemu dengan Allah. Baik saat dzikir, do’a dan shalatnya. Bahkan saat nanti ketika ia meninggalkan dunia ini. Jadi orang yang tidak memantapkan hatinya akan bertemu dengan Allah disebut tidak khusyuk.

Untuk mencapai kekhusyukan tidak bisa instant, melainkan melalui proses kepahaman sampai  memperoleh keyakinan. Bahwa Allah bisa ditemui kapanpun dan dimanapun. Keyakinan bahwa Allah lebih dekat dari urat leher kita sendiri. Allah meliputi semua makhluk-Nya termasuk manusia. Kita harus memahami konsep Tauhid secara holistic, jika tidak maka tidak akan bisa mencapai kekhusyukan.

QS. Al Israa’ (17) : 106-110.

“Dan Al Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakan perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.
Katakanlah: “Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud,
108. dan mereka berkata: “Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi.”   Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’.   Katakanlah: “Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya  dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.”

Kekhusyukan berkaitan erat dengan kepahaman terhadap Alqur’an. Karena itu Allah menurunkan Alqur’an secara berangsur-angsur. Kemudian disuruh membaca dan memahaminya secara perlahan-lahan.

Berdasarkan proses pembelalajaran tersebut, lantas kita bisa meyakini dan beriman kepada Allah SWT. Bagi orang yang berilmu akan gemetar membaca Alqur’an, karena Alqur’an berisi ilmu pengetahuan tingkat tinggi, kemudian tersungkur dan sujud kepada Allah.

Orang-orang yang beriman akan selalu bertasbih dan mensucikan Allah semata. Dan bertambah mantap keimanannya dengan kebenaran Allah. Mereka akan tersungkur kemudian menangis sambil bersujud dan bertambah khusyuk dalam ibadahnya.

Jadi substansi dari kekhusyukan adalah paham tentang Allah, kenal, yakin bisa bertemu dengan Allah dan yakin bakal kembali kepada-Nya. Bertasbih, bersujud sampai meneteskan air mata, berdzikir dan berdo’a dengan suara yang lembut.

Pelajaran dari nabi Zakaria, dia melakukan  kekhusyukan beribadah kepada Allah dengan cara bersegera berbuat baik dan harap-harap cemas ketika berdo’a.

QS. Al Anbiyaa’ : (21) : 90.

“Maka Kami memperkenankan doanya, dan Kami anugerahkan kepada nya Yahya dan Kami jadikan isterinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.”

Dalam bahasa sederhana khusyuk adalah perasaan bisa bertemu dengan Allah saat berdo’a, berdzikir dan shalat. Bukan berarti bisa melihat dan mendengar dengan panca indra. Ketika bisa ‘CURHAT’ kepada pemilik alam semesta ini, mencurahkan gundah gulana, keluh kesah, mohon bantuan dari segala kesulitan. Ketika seseorang merasa plong dan ringan setelah curhat kepada Allah berarti Insya Allah ia telah bertemu Allah dan  ia termasuh orang-orang khusyuk.

Saat melakukan Dzikiri berguna  untuk menyambung jiwa kita dengan Allah SWT. Melatih supaya selalu bisa bertemu dan  akhirnya merasa selalu bertemu dengan-Nya. Sedangkan isi dzikir kita adalah memuji kebesaran Allah, memuji kekuasaan-Nya, Memuji Keagungan-Nya, dan meng-ESAkan-Nya. Sedang berdo’a adalah untuk meminta segala kebutuhan seorang hamba kepada khaliq-Nya.

Jika kita sudah merasakan bertemu dengan Allah, maka sebenarnya kita sudah melakukan ibadah dengan khusyuk. Dan kekhusyukan itu akan membekas, walaupun sudah selesai dzikir, do’a dan shalat. Itulah khusyuk yang sebenarnya. Khusyuk di dalam shalat dan khusyuk di luar shalat. Inilah ukuran khusyuk, walaupun bersifat kualitatif.      

Orang yang khusyuk adalah orang yang jiwanya sedang tenang, tawadhu’, sabar, ikhlas dan berserah diri kepada Allah SWT. Sebaliknya orang-orang yang tidak khusyuk adalah orang-orang jiwanya sedang kacau, stress, bergejolak, egois, memberontak dan sebagainya.

Dua kondisi tersebut akan menghasilkan getaran yang bertolak belakang. Orang yang khusyuk akan menghasilkan gelombang yang lembut. Hati dan perilakunya lembut. Orang itu akan menyenangkan dan menyejukkan orang-orang yang berada di sekelilingnya.

Sementara orang yang tidak khusyuk, akan menyebarkan kejelekan di tengah masyarakat. Hati dan perilakunya akan kasar dan akan merugikan orang-orang yang berada di dekatnya.

Mudah-mudahan kita termasuk orang yang khusyuk dalam dzikir, do’a dan shalat. Dan kita digolongkan hamba-hamba-Nya yang khuyuk……….. Amin. Wallahu’alam.    

QS. An Naazi’at (79) : 27-28.

“Apakah kamu yang lebih sulit penciptaannya ataukah langit? Allah telah membangunnya, Dia meninggikan bangunannya lalu menyempurnakannya.”

Allah telah menciptakan alam semesta ini dengan sempurna. Alam semesta jauh lebih rumit dan raksasa jika dibandingkan badan manusia. Badan manusia hanya merupakan sebagian saja dari system alam semesta. Manusia hanya menjadi salah satu system penyusun alam semesta ini.

Jika boleh kita umpamakan dengan system jaringan computer, maka alam semesta adalah computer induk. Pusatnya ada di Arsy Allah. Disanalah terdapat prosesor utamanya. Sebuah system memori yang disebut Lauh Mahfuzh. Disinilah semua peristiwa tersimpan.

Sedangkan manusia bagaikan sebuah computer kecil yang terhubung ke sistim jaringan computer alam semesta. Kita bisa mengakses masuk ke system jaringan jika kita menyamakan system operasinya terlebih dahulu dan memiliki passwordnya atau kata sandi.

Jika tidak, maka kita akan terkungkung dalam diri sendiri. Tidak bisa masuk ke jaringan alam semesta. Ibarat bagi pengguna handphone, berada di luar service area, di luar jangkauan.

Meskipun secara fisik kita sudah berada di alam semesta, jika tidak bisa nyambung secara informasi, kita akan terasa jauh dari siapa-siapa. Jauh dari mana-mana. Persis seperti orang yang membawa handphone tetapi sedang terkungkung pada suatu gedung bertingkat sehingga tidak memperoleh sinyal. Dalam istilah Alqur’an kita berada jauh dari Allah SWT.

QS. Ibrahim (14) : 3.

“(yaitu) orang-orang yang lebih menyukai kehidupan dunia daripada kehidupan akhirat, dan menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah dan menginginkan agar jalan Allah itu bengkok. Mereka itu berada dalam kesesatan yang jauh.”     

Orang yang terjebak pada kehidupan dunia adalah orang-orang yang tersesat jauh. Karena ia terpaku pada realitas fisik saja. Padahal realitas kehidupan ini bukan hanya itu. Ada yang bersifat lahiriah dan ada yang batiniah.

Orang-orang yang terjauhkan dari informasi Al-Qur’an disebut jauh dari Allah dan tersesat. Padahal, sebenarnya Allah itu dekat, cuma kita saja yang berada di luar service area. Karena kita tidak menggunakan password untuk masuk jaringan computer alam semesta.

Pada saat seseorang yang berdzikir pada Allah, ketika itu ia memiliki password bisa masuk ke jaringan universal. Masuk pada sebuah system informasi canggih yang bebas hambatan. Frekuensi getaran jiwanya nyambung dengan frekuensi alam semesta.

Maka, pada saat kita sudah terhubung dengan jaringan pusat, kita bisa melakukan kontak dengan miliaran computer lainnya, seperti berada dalam jaringan internet.

Betapa dahsyatnya kecepatan informasi dalam jaringan alam semesta ini. Bandingkan dengan kecepatan pengiriman informasi dewasa ini. Yang paling rendah lewat internet, hanya sekitar puluhan ribu atau ratusan ribu bit per detik. Yang lebih tinggi lewat jaringan satelit bisa mencapai jutaan bit per detik. Bit adalah unit terkecil dari informasi.

Jaringan informasi alam semesta lebih dahsyat lagi. Kecepatannya ribuan sampai jutaan kali lebih hebat. Allah mengatakan satu  hari sama dengan 1000 tahun. Dan suatu ketika bisa mencapai satu hari 50.000 tahun.

QS. As Sajdah (32) : 5.

“Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya (lamanya) adalah seribu tahun menurut perhitunganmu.”

QS. Al Ma’arij (70) : 4.

“Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun.”

Saat kita melakukan ibadah dan dzikir dibutuhkan keikhlasan dan kekhusyukan. Jika tidak, maka kita tidak bisa masuk dan mengakses system informasi yang ada.   Karenanya jangan heran jika banyak do’a-do’a kita yang tidak terkabulkan. Disebabkan tidak bisa menyelaraskan kondisi jiwa dengan system alam semesta. 

Adapun orang-orang yang sudah punya password, kemudian bisa masuk ke jaringan informasi  yang sangat canggih ini.  Ia bebas mengakses data yang disukai. Dengan data ini ia semakin faham hakekat kehidupan manusia. Sehingga tubuh orang-orang yang memahami data tersebut menjadi gemetar karena takut kepada Allah.  Sebaliknya tubuhnya menjadi tenang saat mengingat Allah SWT.

QS. Az-Zumar (39) : 23.

“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Qur’an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorangpun pemberi petunjuk baginya.”

Wallahu’alam.